Populasi tak terhingga; populasi tak jelas/pasti; quota
sampling; purposive sampling;
convenience/consecutive/opportunistic/incidental/accidental sampling;
snowball sampling
Mengingat tulisan tentang sampel, samping, dan populasi penelitian
ini dipotong-potong menjadi beberapa bagian, maka sebelum masuk ke
pembahasan bagian ini, perlu dirujuk ulang secara singkat apa yang
penting dipahami terlebih dahulu.
Pertama, dalam penelitian ada subjek penelitian,
yaitu seseorang atau sesuatu, apa saja, yang tentangnya (sifatnya,
keadaannya, “attribute”-nya) penelitian akan dilakukan. Sifat atau
keadaan (“attribute”) subjek yang akan diteliti itu disebut sebagai objek penelitian. Jika subjek penelitian banyak, maka keseluruhan subjek penelitian itu disebut populasi subjek penelitian. Setiap subjek penelitian merupakan anggota populasi subjek penelitian. Pembedaan
objek dari subjek penelitian tidak di semua buku ada. Di dalam tulisan
ini sengaja dimunculkan, agar para pemula bisa memahami istilah subjek
penelitian lebih tepat, tidak terkisruhkan dengan pelaku penelitian.
Kedua, ada kalanya penelitian, dalam arti pengumpulan data, dilakukan
kepada/terhadap subjek itu sendiri, ada kalanya kepada/lewat orang
lain. Siapapun yang “ditanyai” (dalam arti luas) mengenai sifat keadaan
subjek penelitian itu, disebut responden penelitian. Jadi subjek penelitian bisa sekaligus menjadi responden penelitian, bisa juga tidak.
Orang lain yang ditanyai mengenai sifat keadaan subjek merupakan responden murni (maksudnya yang bukan subjek penelitian). “Responden murni” yang jumlahnya banyak disebut populasi responden penelitian.
Populasi responden penelitian jadinya merupakan keseluruhan responden
penelitian. Setiap responden disebut anggota populasi responden
penelitian. Istilah populkasi responden penelitian juga tidak banyak
dikenal. Tapi itu perlu dimunculkan agar juga para pemula tidak bingung.
1. Populasi tak terhingga dan tak jelas (tak pasti)
Populasi
penelitian, apakah itu populasi subjek penelitian, ataukah populasi
responden penelitian, ada yang jumlah anggotanya bisa dan mudah
dihitung, ada yang tidak bisa atau tidak mudah dihitung. Oleh karenanya
populasi penelitian dibedakan (oleh Penulis) menjadi tiga kategori.
Pertama populasi terhingga, kedua populasi tidak terhingga, dan ketiga populasi tidak jelas atau tidak pasti. Ini pun murni “kreasi” penulis, agar memudahkan para peneliti.
Populasi terhingga adalah populasi yang
anggota-anggotanya sangat mungkin dan bisa dihitung. Terhingga artinya
ada hitungan tertentu, bisa dihitung jumlah atau banyaknya. Sebaliknya,
tak terhingga artinya tidak bisa dihitung jumlah atau banyaknya. Ini
seperti kalau orang mengucapkan, “Hutang budi kami kepadanya sungguh
tiada terhingga.” Jadi, populasi tak terhingga adalah populasi
penelitian yang jumlah anggotanya tidak bisa atau tidak mudah dihitung.
Pengambilan sampel dari populasi terhingga telah dibicarakan di
tulisan lain sebelum ini. Teknik-teknik sampling yang telah dibicarakan,
yaitu teknik simple random sampling, systematic sampling (teknik ordinal), stratified random sampling, cluster random sampling, dan area random sampling, semuanya berkaitan dengan populasi terhingga.
Oleh karena itu yang akan dibicarakan berikut adalah teknik pengambilan sampel (teknik sampling) dari populasi tak terhingga dan tak jelas atau tak pasti.
Seperti telah disebutkan pada uraiana terdahulu, populasi tak jelas atau tak pasti
adalah populasi yang keberadaan dan jumlah anggotanya tidak diketahui
secara pasti, tidak jelas keberadaan dan jumlahnya. WTS, sebagai contoh,
dapat diketahui umum keberadaannya–karena ada tempat-tempat tertentu
yang biasa mereka ada di situ, akan tetapi tidak pasti banyaknya (tak
bisa “dihingga”–karena sebagian tidak diketahui juga keberadaannya).
Di sisi lain, orang yang kawin siri, yang, walaupun “diketahui
adanya” karena ada banyak ceritera dan kabar berita tentangnya, akan
tetapi keberadaannya saja pun tidak diketahui secara pasti di mana,
apalagi jumlahnya. Itu contoh populasi tak jelas atau tidak pasti.
Contoh lain adalah keluarga yang sejahtera (sakinah, mawaddah, dan
rohmah). Pasti ada yang demikian, tetapi di mana (keluarga yang mana
saja) dan berapa jumlahnya, tak jelas, tak bisa dipastikan.
Berikut akan dibahas berbagai hal yang berkaitan dengan populasi tak
terhingga dan tak jelas serta sampel dan teknik pengambilan sampelnya.
Sebagai catatan, teknik-teknik yang akan dipaparkan ini bisa atau
mungkin juga digunakan untuk mengambil sampel dari populasi terhingga,
akan tetapi tentu akan menjadi “jelek” sekali representativitasnya,
sehingga hasilnya (untuk generalisasi) menjadi tidak bisa dijamin
keakuratannya.
2. Teknik-teknik nonprobability sampling
Seperti telah disebutkan, populasi (populasi subjek dan atau
responden penelitian) tak terhingga adalah populasi yang jumlah
anggotanya tidak bisa atau tidak mungkin dihitung, sehingga tidak
diketahui secara pasti berapa jumlah anggota populasi tersebut,
sedangkan populasi tak jelas atau tidak pasti adalah populasi yang
keberadaan dan jumlah anggotanya tidak jelas atau tidak bisa dipastikan
jumlahnya.
Oleh karena anggota populasinya tidak diketahui secara pasti siapa
saja dan berapa banyak, maka tidak mungkin mengambil sampel dari
populasi tersebut secara adil, memberi peluang yang sama kepada setiap anggota untuk terambil menjadi sampel (probability sampling), atau mengambil sampelnya secara acak (random
sampling). Oleh karena tidak memberi peluang yang adil, yang sama,
kepada setiap anggota populasi untuk menjadi sampel, maka teknik-teknik
pengambilan sampel dari populasi tak terhingga dan tidak jelas ini
dikelompokkan ke dalam rumpun nonprobability sampling, yaitu cara pengambilan sampel yang tidak memberi peluang yang sama kepada setiap anggota untuk terambil sebagai sampel, atau nonrandom sampling (cara pengambilan sampel yang tidak acak).
Apa saja teknik-teknik sampling (pengambilan sampel) yang
nonprobability (nonrandom) itu, dan kapan atau terhadap populasi yang
seperti apa cocok digunakan, akan dibahas satu per satu, disertai contoh
penggunaan agar mempermudah yang akan menerapkannya dalam praktik.
3. Quota sampling
Teknik quota sampling adalah teknik pengambilan sampel
dengan cara menetapkan jumlah tertentu sebagai target yang harus
dipenuhi dalam pengambilan sampel dari populasi (khususnya yang tidak
terhingga atau tidak jelas), kemudian dengan patokan jumlah tersebut
peneliti mengambil sampel secara sembarang asal memenuhi persyaratan
sebagai sampel dari populasi tersebut.
Pada uraian terdahulu telah disebutkan bahwa penetapan banyaknya sampel yang akan diambil dengan quota sampling berbeda makna dan teknis dari penetapan jumlah sampel pada populasi terhingga. Pada populasi terhingga penetapan jumlah sampel yang akan diambil
itu lazimnya bersifat “proporsional,” setidak-tidaknya memperhatikan
“besaran atau banyaknya anggota populasi), sehingga sebanding atau
mendekati sebanding jumlah anggota dalam populasi (bahkan selalu seiring
dengan heteroginitas populasi), karena jumlah anggota populasi jelas
hitungannya. Oleh karena jelas hitungan anggota populasinya, maka untuk
representativitas, pengambilan sampel biasanya menggunakan persentase.
Pada quota sampling banyaknya sampel yang ditetapkan itu hanya sekedar perkiraan akan relatif memadai untuk mendapatkan data yang diperlukan
yang diperkirakan dapat mencerminkan populasinya, tidak bisa
diperhitungkan secara tegas proporsinya dari populasi, karena jumlah
anggota populasi tidak diketahui secara pasti tadi. Quota sampling pasti, karenanya, nonrandom sampling.
Contoh:
Peneliti ingin mengetahui apa yang menjadi latar belakang (motivasi,
niat) yang sesungguhnya dari para orang tua ingin menyekolahkan anaknya
pada sekolah tertentu. Para orang tua di sini dimaksudkan mereka yang
memiliki anak usia sekolah tertentu dan belum masuk ke sekolah tersebut
(bukan orang tua murid, melainkan orang tua anak usia sekolah).
Keinginan para orang tua itu tentu bisa benar-benar dilaksanakan,
bisa pula tidak. Kenapa? Jika sekolah itu sekolah yang termasuk elit,
mungkin saja ada orang tua yang dalam hatinya ingin menyekolahkan
anaknya ke sekolah tersebut, tetapi tidak bisa karena tak mampu dan
alasan lainnya. Jadi, keinginan (motivasi, niat) itu sebenarnya ada,
tapi tidak hendak (karena tidak bisa atau tidak mungkin)
diaktualisasikan (diwujudkan).
Dengan “status” seperti itu maka jumlah populasi orang tua tersebut
menjadi tak terhingga, karena orang tua anak usia sekolah yang
“berkeinginan” itu bisa tak diketahui secara pasti. Ini berbeda dengan
jumlah orang tua yang benar-benar mendaftarkan anaknya ke sekolah
tersebut, yang bisa dipastikan jumlahnya akan terhingga, bisa dihitung,
karena tercatat sebagai pendaftar (lebih-lebih yang benar-benar anaknya
diterima).
Oleh karena berkeadaan seperti itu, maka peneliti dapat menetapkan
besaran “kuota” sampel yang akan diambil dengan memperhitungkan yang
mendaftar dan perkiraan banyaknya yang sebenarnya berkeinginan tadi.
Jelasnya: Jika yang medaftar ada 200 orang–yang diterima mungkin hanya
90 orang–berapa kira-kira yang tidak mendaftar tetapi berkeinginan?
Catatan:
Jika penelitian ini melibatkan orang tua anak usia sekolah yang
benar-benar mendaftarkan anaknya dan yang tidak mendaftarkan anaknya
(tetapi berkeinginan tadi), maka ada dua subpopulasi dari populasi orang
tua anak usia sekolah yang berminat mendaftarkan anaknya ke sekolah
tersebut, yaitu (1) yang benar-benar mendaftar, dan (2) yang potensial
(ada keinginan) mendaftar tapi tidak mendaftarkan anaknya.
Dari yang mendaftar (karena tercatat, jumlahnya pasti, jadi merupakan
subpopulasi terhingga) tentu dapat diambil sampel dengan teknik-teknik
probability sampling. Sampel yang akan diambil dengan quota sampling
adalah sampel dari para orang tua yang berkeinginan tetapi tidak
mendaftar.
Apabila penelitian dilakukan jauh hari sebelum masa pendaftaran
dilakukan, maka populasinya secara sekeluruhan bersifat tak terhingga
(hanya ada “satu” populasi, tidak terdiri atas “dua subpopulasi”),
karena yang mendaftar belum ada. Oleh karenanya maka sampelnya dapat
diambil dengan teknik quota sampling.
4. Purposive sampling
Istilah purposive sering diterjemahkan bertujuan, karena purpose artinya maksud atau tujuan; jadi purposive sampling diartikan sebagai pengambilan sampel secara bertujuan. Ini benar, tapi tidak betul. Beberapa definisi sering menyebutnya sebagai pengambilan sampel “with purpose in mind”
(dengan tujuan atau maksud tertentu di hati). Tetapi tujuan tersebut
tidak jelas (tujuan apa?). Itu makanya disebut benar tapi tidak betul,
karena tak jelas.
Kalau membuka kamus (buka kamus yang “besar” semisal Oxford Advances Learner’s Dictionary), akan tertemukan bahwa memang salah satu arti purpose
adalah tujuan. Tapi tentu dalam hal ini bukan itu yang dimaksud, karena
tidak ada pengambilan sampel yang tidak punya tujuan, apalagi
menelitinya. Jika dibaca lebih cermat kamus tersebut, maka akan
ditemukan arti lain dari purpose, antara lain kesengajaan (“intention”), tidak sekedar secara kebetulan (“accidental“); juga berarti alasan (“reason“) tertentu; dan juga tuntutan keadaan tertentu (the requirements of a particular situation) atau, jelasnya, menurut persyaratan tertentu.
Jadi, dapatlah dikatakan bahwa purposive sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Dalam bahasa sederhana purposive sampling itu dapat dikatakan sebagai secara sengaja mengambil sampel tertentu (jika orang maka berarti orang-orang tertentu) sesuai persyaratan (sifat-sifat, karakteristik, ciri, kriteria) sampel (jangan lupa yang mencerminkan populasinya).
Misalnya yang diperlukan sebagai sampel adalah “perempuan pengguna
sepeda motor tipe laki-laki (bukan bebek dan sejenisnya)”–karena yang
sedang dicari (jadi, populasinya) adalah perempuan-perempuan pengguna
sepeda motor tipe laki-laki. Hati-hati, populasinya bukan semua pengguna
sepeda motor, sepeda motor jenis atau tipe apapun. Hati-hati pula,
bukan “pengguna motor: kasus perempuan pengguna motor laki-laki.” Juga hati-hati: bukan pengguna sepeda motor laki-laki: kasus perempuan.
Populasinya semua perempuan pengguna sepeda motor laki-laki (artinya,
atau definisi operasionlanya: perempuan yangselalu atau sering kali jika
bepergian menggunakan sepeda motor jenis itu, apapun yang menjadi latar
belakangnya).
Dalam kasus tertentu, Penulis lebih suka menyebut purposive sampling dalam istilah bahasa Jawa sebagai teknik pengambilan sampel secara “njujug“, “menuju langsung ke “tempat” (area, wilayah, lokasi) tertentu yang banyak anggota populasi dimaksud berada.
Jadi, KE…….JAR terus di mana pun sampel berada!
Contoh:
Jika ingin meneliti anak-anak jalanan, datangilah (untuk mengambil
sampel) perempatan-perempatan jalan raya. Kenapa? Karena di situ
anak-anak jalanan sering melakukan aktivitas ngamen dan meminta-minta.
Jadi, jelas tidak perlu dengan teknik area sampling (area geografis dan
atau administratif). Maksudnya, memilih-pilih (menyampel) area, lalu
dari area-area tersampel itu dicari anak-anak jalanannya. Muspro, mubazir, gitu kira-kira. Sebab, bisa jadi dari area tertentu malah tak tertemukan anak jalanan itu.
Jika ingin meneliti “ayam-ayam kampus” (maaf lho, karena ini sudah
“populer” alias diketahui “populi” atau orang banyak) contoh lainnya,
datangilah tempat-tempat yang biasa dipakai “praktek lapangan” mereka,
bukan di kampus [Dimarahi Rektor, nanti, hehe. Tentu juga, jangan tanya
saya di mana mereka ngetem, tentu saja, hehe! Mana tahu?! Eh,
belum tahu, belum berkepentingan, sih. Hus, untuk penelitian, maksudnya,
bukan kepentingan lain!Heheh . . . Tanya “informan”-nya saja, lah!
Informannya siapa, gak tahu juga aku!]. Nah, jadi, lalu, ambillah sampel mereka di atau dari tempat mangkalnya itu.
Dengan cara seperti itu, maka:
(1) Tuntutan mendapatkan sampel yang sesuai atau pas (yang termasuk anggota “anak jalanan” atau “ayam kampus”) pasti tecapai.
(2) “Secara sengaja” (baca: terencana; purposive) mencari anggota populasi “njujug
langsung ke tempat tertentu” punya alasan logis, karena jelas lebih
efektif dan efisien, daripada mencari-cari ke mana-mana yang belum tentu
menemukan apa yang dicari.
Ambil contoh Anda akan meneliti kasus tawuran pelajar.
Sudah diketahui umum bahwa yang suka tawuran itu hanya dari beberapa
sekolah tertentu saja (antar sekolah tertentu). Jadi, secara sengaja (purposive)
Anda lakukan perburuan (hunting) sampel murid yang suka tawuran ke
sekolah-sekolah tertentu itu saja, tak perlu semua sekolah dimasuki,
atau disampel. Di sekolah itu saja pun mungkin Anda harus cukup lama
berakrab-akrab dulu dengan murid-murid sebelum mendapatkan sampel para
petawur itu. Jangan begitu datang langsung “to the point” (togmol, kata
orang Sunda) mencari dan mewawancarai petawur. Bisa terjebak, salah
“tangkap,” dan mendapatkan informasi yang bias. [Hehehe . . ., maaf,
jangan suka main “tangkap dulu urusan belakang” kayak oknum
polisi-polisi yang tidak profesional–ditangkap, dianggap teroris, lalu
dilepas, tak terbukti! Bikin trauma dan stres orang saja!].
Ada pula yang memberi makna purposive sampling itu sebagai pengambilan sampel secara sembarang asal memenuhi persyaratan. Jadi ini akan sama dengan opportunistic (incidental, acidental) sampling. Misal dalam polling
(jajag pendapat) seseorang peneliti (observer) mencegat orang-orang
yang lewat untuk ditanyai. Barangsiapa sesuai ketentuan (kriteria
sampel) maka langsung diambil sebagai sampel, yang tidak memenuhi
kriteria dibiarkan lewat. Sekali lagi, cara seperti itu lebih lazim
disebut dengan opportunistic (accidental, incidental) sampling (mengambil sampel siapa saja yang kebetulan pas untuk menjadi sampel).
Dalam penelitian kualitatif sampel lazim diambil secara purposive. Ini juga maknanya sama, yakni “njujug,” hanya saja yang dijadikan “jujugan”
(tujuan) bukan tempat, melainkan orang (subjek/reponden penelitian).
Jelasnya, yang “dituju” adalah orang-orang tertentu yang (dengan alasan
atau latar belakang logis) memenuhi persyaratan (tuntutan persyaratan)
sebagai “responden” (yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan
penelitian). Ini hampir mirip dengan informan (narasumber) penelitian.
Jangan lupa, bedanya, informan tidak memberikan informasi pribadi,
melainkan informasi kelembagaan. Sampel penelitian kualitatif yang
purposive tadi, tetap memiliki ciri individual, pribadi. Artinya,
keindividuannya itu yang diteliti. Ia tidak mewakili kelembagaan (apapun
lembaga, organisasi dsb).
Purposive sampling suka juga disebut judgmental sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan “penilaian” (judgment) peneliti mengenai siapa-siapa saja yang pantas
(memenuhi persyaratan) untuk dijadikan sampel. Oleh karenanya agar
tidak sangat subjektif, peneliti harus punya latar belakang pengetahuan
tertentu mengenai sampel dimaksud (tentu juga populasinya) agar
benar-benar bisa mendapatkan sampel yang sesuai dengan persyaratan atau
tujuan penelitian (memperoleh data yang akurat).
Berapa banyak sampel purposif diambil? Rumusnya
sederhana: sebanyak yang dianggap cukup memadai untuk memperoleh data
penelitian yang mencerminkan (representatif) keadaan populasi.
Maksudnya, data dari sampel purposif tersebut dianggap sudah bisa
menggambarkan (menjawab) apa yang menjadi tujuan dan permasalahan
penelitian. Tentu tidak bagus kalu cuma satu dua orang. Sebanyak mungkin
jauh lebih baik. Angka pasti? Tidak ada. Perhatikan perkiraan “anggota
populasi” yang ada di “area” (contoh: tempat mangkal anak jalanan dan
ayam kampus tadi) ada berapa banyak, lalu ambillah sebanyak mungkin).
Hati-hati dengan kasus “ayam kampus.” Bisa jadi ini termasuk jenis
populasi tidak jelas atau tidak pasti (tidak jelas keberadaannya dan
tidak pasti jumlahnya). Dalam kasus ini gunakan teknik sampling untuk
populasi tak jelas/tak pasti (uraian berikut).
5. Convenience, consecutive dan incidental (accidental, opportunistic) sampling
Istilah convenience sampling sering disamamaknakan dengan incidental sampling dan accidental sampling. Convenience artinya mudah atau kemudahan atau kenyamanan (dalam arti tidak memberikan kesulitan atau kesusahan). Incidental artinya tidak secara sengaja, secara kebetulan, atau sampingan (bukan yang pokok atau utama). Accidental artinya (salah satu yang cocok dengan pengambilan sampel) adalah tidak secara sengaja, atau secara kebetulan. Opportunistic artinya juga secara kebetulan. Jadi, incidental, accidental, dan opportunistic mempunyai makna yang sama. Consecutive juga mempunyai makna yang sama.
Convenience sampling maksudnya mengambil sampel yang
sesuai dengan ketentuan atau persyaratan sampel dari populasi tertentu
yang paling mudah dijangkau atau didapatkan. Misalnya yang terdekat
dengan tempat peneliti berdomisili. Consecutive sampling juga artinya sama, hanya lebih tinggi derajatnya sedikit daripada convenience, yaitu semua yang bisa terjangkau diambil sebagai sampel. Dengan convenience hanya sekedar dapat yang mudah didapat.
Incidental (accidental, opportunistic sampling)
maksudnya mengambil sampel secara sembarang (kapanpun dan dimanapun
menemukan) asal memenuhi syarat sebagai sampel dari populasi tertentu.
Jadi, sebenarnya antara convenience/consecutive sampling dan incidental (accidental, opportunistic) sampling ada perbedaan, yaitu pada convenience sampling pengambilan sampel secara sengaja (sengaja yang mudah), sementara pada incidental (accidental, opportunistic)
faktor kesengajaan tidak menjadi pokok, faktor kebetulan justru yang
paling menonjol (mencari-cari sampai secara “kebetulan” mendapatkan
sampel yang dikehendaki). Akan tetapi semuanya mempunyai kesamaan, yaitu
sama-sama menempuh cara yang relatif paling mudah, yang tidak
menyulitkan. Hanya saja pada incedental (accidental, opportunistic) sampling kemudahan itu dilihat dari sudut “asal menemukan yang memenuhi ketentuan atau persyaratan,” sementara pada convennience sampling faktor kemudahan itu dilihat dari keterjangkauan (tempat dan hubungan).
Jadi, ketemu pegang! Maksudnya, jika menemukan yang sesuai kriteria, pegang (ambil) sebagai sampel.
Contoh:
Seorang peneliti ingin mengetahui partisipasi orang tua murid dalam
meningkatkan prestasi belajar anak-anaknya. Peneliti mengambil sebagai
sampel tetangganya, temannya, kerabatnya, sejawatnya, dan kenalannya
yang semuanya termasuk kategori “anggota populasi penelitian” (dalam hal
ini orang tua murid). Ini termasuk convenience sampling, pengambilan sampel dengan cara yang paling mudah, paling tidak sulit, paling nyaman.
Peneliti lain ingin mengetahui bagaimana komentar mahasiswa Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (FIP UNY) mengenai
tampilan dan isi Tatangmanguny’s Blog. Tentu yang jadi populasi adalah
mahasiswa yang pernah membuka blog tersebut, tidak semua mahasiswa FIP
UNY. Mencarinya tentu tidak mudah. Populasinya tak terhingga. Harus
ditanya satu per satu. Jika ada yang kebetulan pernah membukanya,
jadilah pertanyaan dilanjutkan, dan para mahasiswa tersebut terambillah
jadinya sebagai sampel (opportunistic, incidental, accidental samples).
Berapa banyak sampel yang akan diambil? Sama dengan
contoh purposive sampling di atas, yaitu sampai merasa dari sampel yang
terjaring tersebut cukup mendapatkan gambaran (kejelasan) jawaban
permasalahan penelitian. Angka pasti? Juga tidak ada.
6. Snowball sampling
Orang-orang, terutama anak-anak, di daerah bersalju, suka bermain-main dengan bola salju (snowball).
Bukan lempar-lemparan, melainkan menggelindingkan bola salju itu dari
bukit ke lembah, ke bawah. Bola yang digelindingkan hanya sekepalan
tangan. Pada ketika menggelinding itu, ada salju yang ikut menempel ke
bola sekepal tadi. Makin ke bawah jadinya makin banyak salju yang
menempel, dan makin membesarlah bola salju tersebut.
Pengambilan sampel dengan teknik snowball sampling
gambarannya seperti menggelindingkan bola salju sekepalan tangan anak
tadi. Di ketika populasi penelitian tidak jelas keberadaannya, dan tidak
pasti jumlahnya, temuan satu sampel saja sudah sangat amat berarti.
Dari sampel pertama itu dicarilah (diminta informasinya) mengenai
“teman-teman” sampel lainnya.
Nah, sebentar, perlu didefinisikan dulu apa itu snowball sampling, karena definisi itu diperlukan untuk dikutip mahasiswa (siapapun yang akan meneliti, tentunya).
Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel dari populasi yang tidak jelas keberadaaan anggotanya dan tidak pasti jumlahnya
dengan cara menemukan satu sampel, untuk kemudian dari sampel tersebut
dicari (digali) keterangan mengenai keberadaan sampel (sampel-sampel)
lain, terus demikian secara berantai.
Ambil contoh akan meneliti para pengguna narkoba. Jika sudah
tertemukan satu orang pengguna, dari orang tersebut digali infomrasi
siapa saja teman atau teman-temannya yang
sama-sama suka mengkonsumsi narkoba. Dari temannya tadi dicari lagi
informasi siapa teman atau teman-teman lainnya. Begitu seterusnya,
sampai sampel dirasa cukup untuk memperoleh data yang diperlukan, atau sampai “mentog”
sudah tidak terkorek lagi keterangan sampel lainnya siapa dan di mana,
atau sampai data yang diperoleh dipandang sudah cukup memadai untuk
menjawab permasalahan penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar