Senin, 09 April 2018

Perbedaan sampel dan sampling

Sampel dan Sampling Banyak yang berpendapat bahwa sampel adalah sekelompok orang (siswa, anggota partai, pemain bola, seniman dll) yang memiliki pengalaman tertentu; atau merupakan anggota kelompok tertentu. Kadang-kadang pendapat ini benar, dalam arti mereka dapat mewakili kelompok atau kegiatan tertentu; tetapi seringkali juga tidak tepat. Salah satu langkah penting dalam proses penelitian adalah menentukan sampel individual yang akan berpartisipasi dalam penelitian. “Sampling” berarti proses memilih individu sampel.
SAMPEL DAN POPULASI
 Sampel dalam suatu penelitian merupakan kelompok yang dapat dijadikan sumber informasi. Sampel diambil dari kelompok besar yang disebut “populasi”. Oleh karena itu, diharapkan hasil penelitiannya kelak dapat diterapkan dalam populasi.

Misalnya dari 500 mahasiswa jurusan matematika  populasi Diambil 50 mahasiswa  sampel
 Bila memungkinkan, peneliti dapat mengambil seluruh populasi sebagai subyek penelitian, namun hal ini sulit dilakukan mengingat keterbatasan dana, waktu, dan tenaga.

Beberapa contoh:
 Seorang peneliti berniat menyelidiki efek nutrisi tambahan terhadap kebugaran siswa SD kelas 3 di suatu kota. Di kota tersebut terdapat 1500 siswa kelas 3 SD. Peneliti memilih 150 siswa kelas 3 dari 5 sekolah yang berbeda. Jadi dari masing-masing sekolah dipilih 30 siswa
 Seorang kepala SMA ingin menyelidiki efektivitas buku sejarah yang baru, yang digunakan oleh 30 guru SMA di kota tersebut. Ia memilih 6 orang guru sebagai sampel (pengguna buku baru tsb), kemudian ia membandingkan hasil belajar siswa mereka dengan 6 orang guru lain yang menggunakan buku lain.

MENENTUKAN POPULASI
Langkah pertama dalam menentukan sampel adalah menentukan populasi yang akan diteliti; yaitu kelompok di mana kelak hasil penelitian tersebut dapat diterapkan POPULASI adalah kelompok yang diminati oleh peneliti; di mana kelak generalisasi hasil penelitiannya akan diterapkan. Contoh populasi:
 Semua kepala sekolah di Bandung
 Seluruh siswa SMA di Bandung tahun 2000-2003
 Semua guru IPA di Jawa Barat.

Jadi populasi adalah semua individu yang memiliki karakteristik tertentu. Dalam penelitian pendidikan, populasi yang diminati oleh peneliti umumnya adalah kelompok orang (siswa, guru, dll) yang memiliki ciri tertentu. Dalam kasus tertentu, populasi dapat didefinisikan sebagai kelompok kelas, sekolah atau fasilitas. Contoh:
 Semua siswa kelas 5 SD… (dengan anggapan bahwa guru yang mengajar di sekolah tersebut menggunakan metode mengajar yang bervariasi; dan menghasilkan banyak siswa berprestasi)
 Semua SMA yang bertaraf internasional di Jakarta (dengan anggapan bahwa fasilitas fisik di sekolah tersebut jauh lebih baik dan telah menghasilkan juara-juara olimpiade sains)

Contoh di atas menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan ukuran bagi suatu populasi, yang jelas suatu populasi memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan populasi lain. Populasi merupakan kumpulan semua individu yang memiliki sejumlah karakteristik yang sama.
POPULASI TARGET vs POPULASI YANG DAPAT DIAKSES
Populasi target adalah populasi yang aktual; pilihan yang ideal bagi peneliti. Populasi di mana peneliti dapat menggeneralisasikan hasil penelitiannya kelak. Populasi yang dapat diakses (Accessible population), adalah pilihan yang realistik Contoh: (1)Masalah penelitian: Pengaruh CAI (computer-assisted instruction) terhadap kemampuan membaca siswa kelas 1 dan 2 SD di California Populasi Target: semua siswa kelas 1 dan 2 SD di California Populasi yang diakses: semua siswa kelas 1 dan 2 SD distrik Pasifica- California Sampel : 10% siswa SD kelas 1 dan 2 distrik Pasifica California. (2)Masalah Penelitian: Sikap keguruan mahasiswa calon guru yang melaksanakan PPL di Jawa Barat Populasi Target: Semua mahasiswa calon guru praktikan PPL di Jawa Barat Populasi yang diakses: Semua mahasiswa calon guru praktikan PPL yang terdaftar di UPI Sampel: diambil 100 mahasiswa calon guru praktikan PPL yang terdaftar di UPI. Mengapa peneliti tidak mengambil „populasi target‟?
Penghematan waktu, tenaga dan dana
Populasi yang diakses diharapkan dapat mewakili populasi target

RANDOM SAMPLING vs NONRANDOM SAMPLING
Contoh random sampling:
Seorang peneliti ingin menyelidiki tentang implementasi kurikulum baru di SMA provinsi Jawa Barat. Seandainya di Jawa Barat terdapat 500 SMA, maka ia menyiapkan 500 potongan kertas lalu nama ke 500 SMA ditulis pada masing-masing kertas, lalu kertas digulung, dikocok kemudian dipilihnya 50 SMA.

Contoh Nonrandom sampling:
Peneliti menentukan dulu SMA di kota dan kabupaten yang tergolong SMA kategori baik, sedang, dan kurang. Kemudian ia menentukan beberapa kota dan kabupaten lalu memilih masing-masing 1 SMA kategori baik, sedang dan kurang.

Sampel yang dipilih baik secara random maupun nonrandom harus dapat mewakili keadaan populasi. Sampel dapat pula dipilih dengan menggunakanTabel Bilangan random yang terdapat di dalam buku statistika.
STRATIFIED RANDOM SAMPLING
Stratified random sampling atau sampling acak berstrata adalah proses memilih sampel berdasarkan strata atau kelompok dalam suatu populasi. Contoh: Seorang peneliti menyelidiki respon siswa kelas 9 terhadap buku sains yang dianjurkan sebagai buku ajar baru. Ia berpendapat bahwa variabel gender ikut menentukan respon siswa terhadap buku ajar tersebut. Maka ia melakukan proses sampling sebagai berikut:
Populasi target: 450 siswa kelas 9 di sekolah tertentu yang menggunakan buku sains tersebut
Dari populasi tersebut terdapat 270 siswa puteri dan 180 siswa putera
Dengan mengguakan table bilangan random, ia memilih 30% dari masing-masing strata : 81 siswa puteri dan 54 siswa putera

Populasi :450 siswa kelas 9 terdiri dari 270 siswa puteri (60% populasi) dan 180 siswa putera
(40% populasi ), maka seharusnya diambil sample 81 siswa puteri 30% dari 60% populasi serta 54 siswa sample putera 30% dari 40% populasi.

CLUSTER RANDOM SAMPLING
Dalam random sampling dan stratified random sampling, peneliti memilih individu-individu dari populasi yang akan dilibatkan dalam penelitiannya. Namun kadang-kadang waktu, situasi, dan kondisi tidak memungkinkan bagi seorang peneliti untuk memilih individu sebagai sampel penelitian. Bila penelitian dilakukan di sekolah jelas tidak mungkin bagi seorang peneliti memilih siswa-siswa tertentu untuk dikelompokkan dalam kelas khusus sebagai sampel. Oleh karena itu bila penelitian dilakukan di sekolah sebaiknya menggunakan “cluster random sampling”, sehingga peneliti tak perlu memilih individu-individu dari masing-masing kelas sebagai sampel. Caranya: jika di suatu sekolah terdapat 5 rombel untuk kelas 10, maka ia dapat memilih secara random salah satu rombel menjadi sampel penelitiannya. Cara ini lebih efektif bila penelitian dilakukan terhadap kelompok atau „cluster‟ dalam jumlah banyak. Contoh: Suatu Lembaga Penelitian bermaksud meneliti kesulitan guru tentang keharusan melakukan penelitian dan menyusun karya tulis ilmiah bagi guru yang telah menduduki golongan IVa. Misalkan di Jawa Barat terdapat 100.000 guru dari 100 SD, SMP, SMA. Berhubung dana yang tersedia sangat terbatas, maka masing-masing sekolah dianggap sebagai cluster. Kemudian dipilih 20 % dari populasi secara random cluster yang mewakili berbagai kota 20 sekolah dari berbagai kota di Jawa Barat. Karena guru yang diwawancara berasal dari berbagai kota, maka sampel dianggap dapat mewakili populasi. Dua Tahap Random Sampling Kadang-kadang random sampling dikombinasikan dengan cluster random sampling. Misalnya daripada memilih secara random 100 siswa kelas 9 dari populasi 3000 siswa yang terdapat di 100 kelas, maka peneliti dapat memilih secara random 25 kelas dari populasi 100 kelas tersebut; kemudian memilih 4 siswa dari masing-masing kelas.
Metode Random Sampling
1.Random sederhana (acak sederhana):
contoh dari Populasi Z, A, D, F, J, K, B, C, E, G, H, I, L, M, N, O, Q, P, X, Y, R, T, U, V, W, S.
diambil sample D ,H, N, L, P, Y.

2.Random berstrata
Contoh Populasi ada tiga kelompok yaitu tingkat satu A,B,C,D,E sebesar 25% tingkat dua F, G, H, I, J, K, L, M, N, O sebesar 50% dan tingkat tiga P,Q,R,S,T sebesar 25%.
Diambil sampledi tingkat satu B, D 25%, tingkat duasamplenya F,M,O,J 50% dan tingkat tiga P,S 25%

3. Random cluster
Contoh populasi terdiri dari sembilan kelompok/cluster yaitu LM, STU, QR, NOP, JK, EFG, HI, CD , AB. Maka diambil sampel cluster EFG, CD, QR

4. Random dua tahap
Contoh populasi terdiri dari sembilan kelompok LM, STU, NOP, QR, EFG, CD, AB , JK, HI, tahap pertama diambil sampel tiga kelompok CD, STU,LM kemudian diambil masing-masing anggota dari kelompok itu sebagai sampel pada tahap kedua yaitu C, L,T

METODE NONRANDOM SAMPLING SYSTEMATIC SAMPLING
Dalam sampling sistematis, setiap individu ke n dalam daftar populasi dipilih sebagai sampel. Misalnya dalam populasi terdapat 5000 nama, dan akan dipilih hanya 500, mka peneliti harus memilih 1 dari tiap 10 nama. Contoh:
Kepala sekolah ingin mengetahui pendapat siswa tentang menu baru yang tersaji di kantin sekolah. Maka untuk memlih sampel ia menuliskan angka 1-10 di secarik kertas lalu dimasukkan kedalam kotak. Ia mengambil 1 nomor dengan mata tertutup, dan ternyata nomor 3. Jadi ia menentukan siswa no 3,13,23,33,43 dan seterusnya hingga ia memperoleh 100 siswa sebagai sampel. Metode ini disebut sampling yang diawali secara random

Ada rumus sederhana untuk menentukannya yaitu: Besarnya populasi dibagi Jumlah sampel yang dibutuhkan
CONVENIENCE SAMPLING (SAMPLING SEADANYA)
Kadang-kadang sangat sulit untuk memilih sampel secara acak atau secara tak acak (nonrandom). Untuk hal yang mendesak, peneliti dapat memilih sampel seadanya; artinya sampel yang ditemukan secara tak sengaja atau secara sengaja Contoh :
Untuk menjaring pendapat mahasiswa tentang layanan kantin universitas, maka pada suatu pagi manager kantin mewawancarai 50 mahasiswa pertama yang datang untuk makan di kantin.
Guru Bimbingan Konseling (BK) mewawancarai semua siswa yang datang untuk konseling tentang bakat dan karir.

Seorang reporter TV mewawancarai pejalan kaki dan pengemudi yang kebetulan lewat di dekatnya, untuk menjaring pendapat mereka tentang kenaikan harga BBM.
Pada masing-masing contoh di atas, kelompok individu dipilih karena memungkinkan untuk dipilih sebagai sampel. Namun demikian sampel seadanya ini tidak selalu tepat, misalnya orang yang secara kebetulan diwawancarai oleh reporter TV akan menjawab seadanya, karena tak siap menjawab. Mahasiswa yang diwawancarai oleh manager kantin menjawab seperlunya atau seenaknya. Begitu pula siswa yang diwawancarai oleh guru BK. Jadi sampel seadanya dapat menimbulkan ‘bias’. Secara umum sampel seadanya tidak dapat dijadikan sampel yang representatif bagi populasi, dan peneliti sebaiknya menghindari pengambilan sampel seadanya.

PURPOSIVE SAMPLING Dalam hal tertentu, berdasarkan pengetahuan tentang sifat populasi dan untuk kepentingan tertentu, peneliti menggunakan pertimbangan pribadi dalam memilih sampel. Peneliti memilih sampel tersebut berdasarkan kebutuhannya dan menganggap bahwa sampel tersebut representatif Contoh:
Seorang siswa S2 ingin meneliti tentang pandangan para „manula‟ yang berusia 65 tahun ke atas tentang „masa bakti‟ mereka. Pembimbingnya seorang professor yang ahli dalam masalah orangtua dan populasi manula, menganjurkan untuk mengambil sampel dari organisasi „Perkumpulan Pensiunan‟ di daerah tersebut. Maka peneliti mewawancarai 50 orang anggota organisasi tersebut.
Seorang peneliti ingin mengkaji pengaruh pengajaran Bahasa Inggris dan Mandarin sejak usia dini terhadap penguasaan Bahasa Indonesia para siswanya. Maka ia harus mencari sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Inggris dan Mandarin sejak usia dini, lalu mewawancarai siswa atau memberikan tes kepada siswa.

Metode non random sampling: Convenience, Purposive, Systematic.
UKURAN SAMPEL
Menarik sampel dari suatu populasi tidak selalu memuaskan, karena peneliti seringkali tidak yakin terhadap sampel yang sungguh sungguh representatif terhadap populasi tersebut. Sering terjadi perbedaan antara sampel yang dipilih dengan populasi. Tetapi bila sampel telah dipilih secara random dengan ukuran yang sesuai, maka perbedaan ini tampaknya tidak signifikan dan bersifat kebetulan. Jadi berapakah ukuran sampel, dan bagaimanakah memilih sampel agar representatif? Tampaknya tidak ada jawaban yang cukup memuaskan. Tetapi hendaknya ukuran sampel tidak terlalu jauh berbeda dengan populasinya Misalnya bila populasi target berjumlah 1000 orang Sampel 20-30 orang terlalu kecil; karena hanya 2-3% dari populasi, sehingga kurang representatif. Berapa banyak sampel yang sesuai?
1. Random sampling
Misalkan populasi target: semua siswa kelas 8 di Jawa Barat Populasi yang dapat diakses: semua siswa kelas 8 di Kota dan kabupaten Bandung yang diperkirakan berjumlah 9000 siswa Sampel yang cukup baik: n= 200-250 Kesulitannya: menentukan sampel yang representative 200 siswa dari sekolah yang berbeda
2. Cluster random sampling
Peneliti harus mengidentifikasi sekolah negeri dan swasta di Bandung (kota dan kabupaten) kemudian menentukan sampel sebagai berikut
9000 siswa dibagi 30 siswa per kelas sama dengan 300 kelas. Selanjutnya 300 kelas dibagi 2 kelas per sekolah (estimasi ) sama dengan 150 sekolah.

Dari 150 sekolah dipilih secara random 4 sekolah  n=4 sekolah x 2 kelas/sekolah x 30 siswa/kelas= 240
3. Stratified random sampling
Dari semua siswa kelas 8 di sekolah negeri dan sekolah swasta ditentukan dulu proporsinya misalnya 80% negeri dan 20% swasta Kemudian tentukan jumlah yang akan dijadikan sampel yaitu 200  Sekolah negeri : 80%(200) = 160 Sekolah swasta : 20%(200) = 40 Dari jumlah ini dipilih secara random subpopulasi yang mewakili sekolah negeri dan sekolah swasta. Kesulitannya: peneliti harus mengetahui proporsi dalam setiap strata, dan strata ini dapat bertambah bila stratifikasinya ditambah. Misalnya ditambah dengan:
etnis siswa gender dan pengalaman guru dll.

4. Two stage random sampling
Secara random dipilih 25 sekolah dari populasi sebanyak 150 sekolah, kemudian secara random dipilih lagi 8 siswa kelas delapan dari masing-masing sekolah: n= 8 x 25 = 200 Metode ini lebih baik kelayakannya dibandingkan dengan random sampling biasa dan lebih representative daripada cluster sampling. Dapat dijadikan pilihan yang terbaik; tetapi tetap memerlukan izin dari 25 sekolah untuk dijadikan sumber data.
5. Convenience sampling

Dipilih siswa kelas 8 dari 4 sekolah yang dapat diakses oleh peneliti  n= 30 x 4 x 2=240. Untuk menentukan sampel ini peneliti harus mempunyai argument yang kuat dengan data pendukung lengkap sehingga sampel ini setara dengan 150 sekolah
6. Purposive sampling

Dipilih 8 kelas dari kota dan kabupaten Bandung berdasarkan data demografik yang diperkirakan representatif untuk kelas 8. Masalahnya adalah: kadang-kadang peneliti tidak dapat memperoleh data yang diperlukan, dan kadang-kadang ada perbedaan antara populasi dan sampel untuk variable tertentu, seperti sikap guru (yang tidak mencerminkan populasi) dan sumber lainnya.
7. Systematic sampling

Dipilih setiap 45 siswa dari daftar berdasarkan abjad dari masing-masing sekolah yaitu 200 siswa sampel dibagi 9000 siswa populasi diperoleh 0,022 atau satu per empat puluh lima
Alternatif untuk memilih sekolah ke 6 dari 150 sekolah (150/6= 25 sekolah)
Kemudian setiap siswa ke enam dari daftar siswa kelas 8 (n=60/6=10 siswa per sekolah)
Maka siswa yang dipilih sebagai sampel berjumlah n= 25 x 10 = 250 siswa

ECOLOGICAL GENERALIZABILITY
Ecological generalizability berkenaan dengan, sejauh mana hasil studi dapat diperluas atau digeneralisasi ke setting lain‟. Peneliti harus mampu menjelaskan kondisi lingkungan – yaitu setting penelitiannya. Kondisi ini harus memiliki kesamaan dengan situasi baru di mana hasil penelitiannya akan diterapkan. Misalnya, hasil penelitian di sekolah yang terletak di lingkungan perkotaan tidak dapat langsung diterapkan untuk sekolah di pedesaan atau pinggiran kota, karena ada berbagai hal seperti kondisi sekolah, bahan ajar, atau waktu belajar yang tidak sama. Atau, hasil penelitian terhadap suatu mata pelajaran tidak dapat diterapkan begitu saja untuk mata pelajaran lain. Ketidaktepatan penerapan hasil penelitian yang berkenaan dengan ecological generalizability, misalnya: Ada hasil penelitian tentang suatu metode pengajaran membaca bagi siswa kelas 5 di beberapa sekolah; di mana siswa belajar melakukan pemetaan wacana sehingga mereka dapat membuat kesimpulan melalui pemetaan interpretasi. Kemudian peneliti merekomendasikan bahwa metode ini dapat digunakan untuk berbagai mata pelajaran lainnya seperti sains dan matematika. Dalam hal ini ia mengabaikan perbedaan isi, bahan ajar, keterampilan yang diharapkan, dan pengalaman guru. Dalam hal ini, penggunaan random sampling tidak selalu dapat digeneralisasikan untuk lingkungan yang berbeda. Kecuali bila peneliti dapat mengidentifikasi populasi berdasarkan pola organisasi bahan ajar, kondisi kelas, dsb., kemudian secara random ia memilih berbagai kombinasi kemungkinan. Bila hasilnya telah berulang kali diuji coba dalam berbagai kondisi yang berbeda dan hasilnya menunjukkan kemiripan untuk setiap replikasi, barulah ia dapat merekomendasikan penerapan hasil penelitiannya untuk lingkungan dan kondisi lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar